-
11 March
-
MAMPUKAH KITA ELIMINASI TBC TAHUN 2035 & INDONESIA BEBAS TBC TAHUN 2050
Mohammad sigit sarjono, SH
Humas BBKPM Bandung
BANDUNG JUARA
Tuberculosis sampai saat ini masih menjadi primadona yang menghantui dunia kesehatan kita.TBC merupakan penyakit menular yang tidak mudah untuk dibebaskan, karena penyakit ini memiliki karakteristik berbeda dengan penyakit menular lainnya. Butuh waktu sembuh minimal 6 bulan pada penderitanya bahkan hingga 22 bulan untuk membunuh kuman yang telah mengalami mutasi genetic hingga resisten terhadap OAT.
Penderita TBC cenderung menutup diri karena rasa malu akan penyakit dideritanya kerap dihubungkan dengan kemiskinan, penyakit kutukan dan stigma negative lainnya. Benarkah demikian, pada masa lalu penderita TBC dikarantina dalam masa pengobatannya di sanatorium yang jauh dari pemukiman penduduk. Jawa Barat beberapa tahun ke belakang memiliki dua sanatorium diantaranya adalah Rumah sakit Cipaganti(RSTP) yang kini berganti nama dengan RS Rotinsulu Bandung. Sanatorium lainnya terletak di Cisarua Bogor yang kini berganti nama menjadi RS Gunawan Partowidigdo.
Benarkah stigma atau hanya perlakuan orang sehat yang kurang bijak sehingga penyakit ini sulit diberantas. Jawa Barat adalah propinsi dengan angka temuan TBC terbesar di Indonesia, data terakhir per 31 Januari tahun 2017 untuk temuan kasus baru Tuberculosis paru BTA positif adalah sebesar 23.774, kemudian disusul dengan Jatim sebesar 21.606 dan propinsi Sumut sebesar 11.771 temuan kasus, (Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2017). Penyumbang terbesar jawa barat adalah kota bandung dengan 9.147 temuan kasus baru di tahun yang sama 2017. Slogan Bandung Juara ternyata mengenai juga pada masalah TBC di kota Bandung ini .
MENGAPA KOTA BANDUNG YANG DIPILIH OLEH KUMAN TBC INI ?
Bandung kini berpenduduk 2.412.458 jiwa, dengan penduduk laki-laki 1.218.143 dan perempuan sabanyak 1.194.315 per tahun 2017.( sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bandung , rilis dari database sistem administrasi informasi kependudukan (SIAK) semester dua tahun 2017 pada Selasa (20/2/2018). Jumlah penduduk ini berubah menjadi dua kali lipat dikala siang hari (Sumber : presentasi Camat Coblong, Bandung, Anton Sugiana pada tahun 2012 / penyuluhan TBC BBKPM ).
Bandung yang memiliki daya tarik daerah tujuan urbanisasi dengan kota pelajar nya, juga sebagai kota industry, terakhir menjadi kota tujuan wisata mengingat pesatnya perkembangan kota semenjak dibukanya jalur transportasi tol Purbaleunyi di era tahun 2005. Permasalahan kota dengan kepadatan penduduk relative tinggi merupakan sumbangsih terbesar bagi kenyamanan bersarangnya kuman TBC karna salah satu penyebaran kuman TBC adalah melalui udara.
Perkampungan padat penduduk dengan tren rumah kos-kosan bagi pelajar dan mahasiswa urban di kota Bandung, terkadang mengabaikan unsure syarat rumah sehat, selain itu perkampungan dan rumah kos kosan kawasan Industri. Semuanya ini menjadi ciri yang patut diduga menjadi salah satu penyebab/ sumbangsih sebaran kuman TBC di kota Bandung. Bagaimana tidak hampir sebagian besar Pasien TBC gagal berobat/DO( drop out), adalah penduduk dengan rumah tinggal lingkungan padat ditengah kota Bandung (sumber: wawancara petugas kunjungan rumah). Seringkali ditemukan pemukiman padat yang sulit terjangkau kendaraan bahkan dengan kendaraan kecil seperti sepeda motorpun. Pemukiman padat tanpa ventilasi memadai, dengan gang kecil dan belokan sangat sempit . Bila kita melintas jembatan PASOPATI yang menjadi ikon Kota Bandung, maka terlihat pemukiman padat. Inilah sekilas gambaran kota Bandung.
Butuh penelitian yang serius untuk menyatakan penyebab penyebaran kuman TBC akibat kepadatan penduduk. Setidaknya pengalaman penulis menelusuri pasen putus obat melalui kunjungan rumah ( program pengendalian TBC bagi TB mangkir/ DO, BBKPM Bandung), telah meyakinkan bahwa ini salah satu sebab mengapa TBC sulit diberantas. Hampir semua pasen yang dikunjungi memiliki tempat tinggal yang tidak memenuhi standar kesehatan. Penularan kontak serumah sangat rentan, ventilasi udara yang minim, halaman yang sempit tanpa masuknya sinar matahari sepanjang hari serta hukum kekerabatan masyarakat kita yang sangat kental. Orangtua, kakek nenek dan cucunya menempati satu rumah secara bersamaan, dimana satu terpapar TBC maka yang lainnya adalah kontak serumah atau kontak erat yang kemungkinan besar bisa tertular kuman TBC, dimana menurut data yang ada 1 penderita TBC BTA positif bisa menularkan kepada 10 orang yang ada di dekatnya ( sumber : pedoman TB). Peluang lain adalah kontak dari penderita melalui tetangga terdekat, seperti yang telah disebut di atas bahwa masih banyak pemukiman yang sangat padat di kota Bandung yang memungkinkan kontak satu sama lainnya lebih intens.
BAGAIMANA TBC DITEMUKAN ??
TOSS TBC yang dicanangkan pada World TB Day tahun 2017 lalu merupakan Isue TBC terkini yang dipublish dalam rangka eleminasi TBC tahun 2035 dan memerangi TBC ini. Temukan Obati Sampai Sembuh (TOSS), terkesan merupakan gerakan yang masiive yang ingin dikemukakan para pegiat kesehatan paru. Temukan obati sampai sembuh, seolah para pegiat ingin mengejar penyebaran kuman TBC ini sampai ke akar- akarnya, Hancurkan !!! Lalu apa yang telah kita kerjakan demi memenuhi target eleminasi dan bebas TBC ini, sudahkan langkah yang kita tempuh saat ini benar dan tepat sasaran.
BBKPM Bandung sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) pusat di daerah yang nota bene memiliki wilayah kerja mencakup di 13 Propinsi( Indonesia bagian Barat) ini, telah banyak melakukan pendekatan strategis sesuai fungsi BBKPM. Langkah kemitraan, pemberdayaan masyarakat dan sumberdaya manusia telah banyak dilakukan di wilayah kerja, akan tetapi kegiatan ini belumlah cukup tanpa didukung semua unsure dalam masyarakat. Langkah ini bukan hanya tanggung jawab formal pemerintah pusat dan pemerintah propinsi, kabupaten dan kota saja, namun menjadi tanggung jawab semua pihak pada seluruh lapisan masyarakat. Diperlukan kerja keras antara BBKPM dengan pemerintah daerah propinsi, kabupaten/kota terutama dengan Dinas kesehatan dan Puskesmas di wilayah kerja(13 propinsi).
Meskipun demikian bukan berarti kita dapat bekerja tanpa pola demi mencapai target dan sasaran yang kita harapkan bersama. Fungsi-fungsi penggerak ditingkat pusat sampai daerah dimana Puskesmas sebagai ujung tombak masyarakat desa terbawah dibidang kesehatan perlu dioptimalkan kinerjanya. Mengapa demikian, Puskesmas yang secara teoritis lebih dekat pada lingkungan social kemasyarakatan justru seolah perannya diambil alih oleh Rumah sakit dalam hal TOSS TBC ini . Kita ambil contoh di kota Bandung, semoga tidak terjadi di wilayah lain, dari temuan kasus sebesar 9.147 kasus baru di kota Bandung tahun 2017, bahwa kontribusi temuan angka kasus baru TBC justru sebagian besar ditemukan oleh rumah sakit dengan angka temuan 72,88%, kemudian PKM 24,37 % lantas sisanya BBKPM dengan 2,07 %, Lapas 0,11% dan Klinik sebesar 0,16% (sumber: P2PLDinkes KotaBandung). Dari data ini dapat kita simpulkan bahwa PKM belum optimal dalam pemberdayaan masyarakat dalam temuan kasus baru TBC ini.
Pertanyaannya adalah apakah betul ujung tombak di PKM ini belum berbuat optimal, mengingat di era JKN, fungsi PKM sebagai PPK1 justru diberikan keleluasaan dalam menyeleksi penyakit dan pengobatannnya. Seharusnya angka temuan Kasus TBC ini justru mayoritas menjadi kontribusi temuan PKM. Jangan jangan kasus TBC baru ditemukan ketika pasen telah dalam kondisi yang sangat parah sehingga butuh perawatan di Rumah Sakit.
PERAN BBKPM
Indonesia memiliki 3 sentra Balai Besar Kesehatan Paru yang masing-masing memiliki wilayah kerja Indonesia di bagian barat, tengah dan wilayah timur. BBKPM memiliki fungsi UKM dan UKP, sungguh sangat lengkap dan leluasa bila difungsikan secara optimal. Peran BBKPM sangatlah penting kedudukannya dalam upaya pemberantasan penyakit TBC. Peran BBKPM antara lain mencakup perencanaan, pelayanan, kemitraan dan peningkatan sumberdaya manusia. Khusus dalam peran peningkatan sumberdaya manusia BBKPM dapat memberikan kontribusi dalam bentuk pelatihan atau menjadi tempat study banding dalam Standarisasi pengobatan TBC bagi tenaga kesehatan khususnya yang berada di wilayah kerja BBKPM Bandung. Terlebih lagi bahwa Standarisasi pengobatan TBC yang menjadi salah satu indikator Keluarga Sehat masih menjadi kendala dalam 12 Indikator Keluarga sehat di Indonesia. Capaian standarisasi pengobatan TBC di Indonesia masih dibawah angka 50 % ( Rakernas 2019). Ini artinya pengobatan TBC di Indonesia masih dibawah standar yang diharapkan. Kita tahu bahwa akibat pengobatan yang tidak standar dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk yaitu pasen menjadi resisten terhadap obat TBC( TB-RO). Berangkat dari pengalaman permasalahan tingginya angka temuan Kasus Baru TBC termasuk angka temuan TB-RO di kota Bandung. BBKPM dapat bermitra dengan masing masing propinsi, kabupaten kota di wilayah kerjanya. Upaya yang dilakukan BBKPM melalui kemitraan juga pemberdayaan SDM di wilayah kerja perlu lebih ditingkatkan meskipun telah berjalan sesuai fungsi BBKPM sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 32 Tahun 2007 Tentang Organisasi dan tata Kerja BBKPM. Akan tetapi kegiatan ini bukan tidak menemukan permasalahan dalam pelaksanaannya.
Selain kendala kebutuhan anggaran yang tidak sedikit, tentunya dengan luas wilayah binaan butuh tindak lanjut yang berkesinambungan. Sebagai contoh dengan terbatasnya tatap muka dengan wilayah kerja, maka kontak person pejabat di wilayah binaanpun telah banyak berganti. Ketika kunjungan binaan pertama akan ditindaklanjuti kemudian, namun stake holder/ kontak personnya telah berganti, dengan demikian butuh jalinan komunikasi yang baru dari awal lagi. Jalinan komunikasi ini tidak boleh terputus, sehingga harus memulainya dari awal lagi. Hal yang sangat sederhana namun dampaknya sangat terasa.
BBKPM secara struktur organisasi melalui fungsinya sangat memungkinkan berkontribusi bagi bebas TBC 2050. Menyikapi luas wilayah binaan serta permasalahan kontak person wilayah binaan ini, kedepan mungkin perlu dipertimbangkan pengembangan konsep kemitraan yang berkelanjutan dengan menerapkan system had to had, satu dinas kabupaten/kota wilayah binaan memiliki satu kontak person di BBKPM. BBKPM dapat memberikan tanggung jawab satu orang di BBKPM untuk satu wilayah binaan Dinas Kesehatan Propinsi, kabupaten & kota. Tentunya penambahan tenaga di internal BBKPM sendiri akan membutuhkan SDM yang lebih banyak lagi, sebab mereka akan dibagi dan masing masing sebagai pemegang program di wilayah kerjanya per kabupaten/ kota. Demikian selanjutnya dengan pengembangan mutu fungsi BBKPM yang lebih spesifik lagi. Dengan demikian kualitas informasi dan permasalahan TBC diwilayah binaan lebih up-date dan terkontrol. Jaringan komunikasi media social akan sangat membantu menyikapi keterbatasan anggaran bina wilayah. Peran UKM BBKPM dalam binaan ini menjadi sangat penting ketika BBKPM dibebani tanggung jawab mengelola wilayah binaan yang tidak sedikit.
Kementerian Kesehatan menargetkan Indonesia eliminasi TBC adalah tahun 2035 dengan harapan percepatan eliminasi di tahun 2030, dimana pada posisi CNR ( Case Notivication Rate) rata- rata jumlah temuan kasus TBC baru adalah 1/100 kali jumlah penduduk dan diharapkan Indonesia bebas TBC pada tahun 2050. Sebagai gambaran umum data kota Bandung tahun 2017 untuk CNR adalah 386 : 400 penduduk ( sumber: P2PLDinkes KotaBandung), sedang target eliminasi tahun 2035 adalah 1 berbanding 100 penduduk. Sungguh merupakan target yang sangat berat dan sangat mustahil tercapai bila TOSS TBC sebagai semboyan memerangi TBC ini tidak disertai dengan inovasi lain. TBC tidak cukup diperangi dengan penyuluhan saja, karena bila kita evaluasi pemberdayaan masyarakat melalui kader-kader kelurahan rata-rata mereka telah memahami apa dan bagaimana TBC berkembang. Mereka tidak lagi menyebutnya sebagai penyakit kutukan atau keturunan, namun mengapa justru kontribusi temuan kasus baru pihak rumah sakitlah yang lebih banyak. Seolah para kader ini tidak melakukan temuan, obati sampai sembuh. Adakah yang kurang dari perangkat yang mereka miliki.
Dilain pihak seringkali kader mengeluhkan bahwa mereka seperti petugas yang tak memiliki kompetensi sehingga masyarakat tidak mau mengikuti saran jika ditemukan dugaan TBC ( sumber:pertemuan kader Kota Bandung, BBKPM, Oktober 2018). Untuk mengatasi permasalahan ini tentunya butuh regulasi, perlindungan hukum kader, peningkatan kualitas SDM, juga tentunya optimalisasi fungsi PKM dalam peran TOSS TBC. Pada umumnya PKM kita memiliki keterbatasan SDM sarana dan prasarana juga tentunya alat medis untuk menegakkan diagnose TBC. Terlebih dengan system rujukan berjenjang yang tidak sedikit memakan waktu bila harus dirujuk, TBC akan semakin lambat ditemukan, diobati sampai sembuh. Dalam satu PKM mereka rata2 hanya memiliki satu petugas saja yang menangani kasus TB, ini butuh perhatian.
Dari paparan diatas dapat kita simpulkan bahwa untuk memenuhi target Indonesia bebas TB tahun 2050 tidaklah mudah, butuh perjuangan serius yang tidak hanya terjebak dengan masalah rutinitas namun diperlukan inovasi dan suistanable dalam menggerakkan pemberdayaan masyarakat. Target dan beban ini seolah sudah mengarah kepada BBKPM mengingat BBKPM memiliki dua fungsi yaitu UKM dan UKP yang tercantum dalam pasal(2) Permenkes nomor :523/KEMENKES/PER/IV/2007 antara lain mencakup tugas melaksanakan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pelayanan kesehatan, penunjang kesehatan, promosi kesehatan, dan kemitraan serta pengembangan sumber daya di bidang kesehatan paru masyarakat. Melihat fungsi BBKPM yang sangat luas bukan tidak mungkin BBKPM dapat mengintervensi kebijakan Tata kota dan advokasi dalam menyikapi kebijakan pemerintah kabupaten /kota dalam menetukan peruntukan serta pemenuhan syarat pemukiman sehat, serta arah kebijakan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di wilayah binaan. Kita perlu meyakinkan bahwa pemberantasan sebaran TB tidak melulu menyalahkan stigma saja namun kepadatan penduduk dengan perkampungan kumuh di tengah perkotaan pun memiliki andil penyebaran kuman TBC. Semoga visi eliminasi di tahun 2035 dan bebas TBC di tahun 2050 dapat terlaksana.
Posted by Posted on March 11, 2019