-
13 April
-
CARA PENGGUNAAN OBAT DI BULAN RAMADHAN
CARA PENGGUNAAN OBAT DI BULAN RAMADHAN
apt. Drajat Ramdani Dipraja, S.Farm
Instalasi Farmasi BBKPM Bandung
Beberapa hari lagi, bulan Ramadhan akan tiba dan umat muslim di Indonesia bersiap-siap untuk berpuasa. Namun, sebagian umat muslim yang sedang sakit maupun dalam pengobatan jangka panjang (kronik) bertanya-tanya apakah bisa minum obat disaat berpuasa. Oleh karena itu artikel ini dibuat untuk memberikan informasi mengenai penggunaan obat saat berpuasa di bulan Ramadhan.
Puasa adalah menahan diri untuk tidak makan atau minum dan segala sesuatu yang masuk ke dalam perut (lambung) mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Segala sesuatu yang membatalkan puasa dengan sengaja di siang hari tersebut salah satunya adalah obat yang diminum (Wahbah, 1998). Terdapat macam-macam rute pemberian obat di antaranya rute oral (diminum), rute parenteral (disuntik), rute topikal (dioles), rute inhalasi (dihirup) dan rute lainnya (obat tetes, obat yang dimasukkan ke dalam anus/vagina) (Nurhayati, 2017). Berikut rute pemberian obat yang tidak membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama dan ahli medis pada Seminar Medis Religius tahun 1997 di Maroko.
1. Obat rute topikal yang diserap melalui kulit seperti obat krim, salep, gel dan plester.
2. Obat rute parenteral yang disuntikkan ke kulit, otot, sendi dan pembuluh darah. Kecuali yang disuntikkan berupa nutrisi makanan.
3. Obat rute inhalasi yang dihirup melalui mulut ke paru-paru seperti obat inhaler (asma).
4. Obat rute lainnya seperti obat tetes mata, hidung atau telinga.
5. Obat yang diselipkan di bawah lidah seperti obat angina (nitrogliserin atau isosorbid dinitrat)
6. Obat kumur sejauh tidak tertelan.
7. Obat yang dimasukan ke dalam anus seperti suppositoria.
8. Pemberian gas oksigen dan anastesi (penghilang rasa nyeri).
Selain rute pemberian obat, informasi jadwal minum obat saat puasa juga merupakan hal yang perlu diketahui pasien. Terdapat 4 macam jadwal minum obat yang dikonsumsi pasien dalam seharinya. Obat yang diresepkan dokter bisa sehari satu kali, sehari dua kali, sehari tiga kali dan sehari empat kali minum obat. Berikut jadwal minum obat yang disarankan ketika berpuasa.
1. Sehari satu kali
Obat dapat diminum pada saat sahur atau setelah berbuka puasa (malam hari)
2. Sehari dua kali
Obat dapat diminum pada saat sahur dan setelah berbuka puasa (malam hari)
3. Sehari tiga kali
Disarankan untuk meminta dokter mengganti obat yang dapat dikonsumsi sehari sekali atau sehari dua kali. Jika tidak bisa, obat dapat diminum pada jam 18.00, jam 23.00, dan jam 4.00 atau berjarak 5 jam tiap minum obatnya.
4. Sehari empat kali
Disarankan untuk meminta dokter mengganti obat yang dapat dikonsumsi sehari sekali atau sehari dua kali.
Khusus penggunaan antibiotik saat berpuasa, disarankan untuk menggunakan antibiotik yang diminum sehari sekali. Pengobatan menggunakan antibiotik yang diminum dua sampai tiga kali sehari tidak disarankan berpuasa karena dapat mempengaruhi kadar obat di dalam tubuh sehingga menimbulkan kegagalan pengobatan dan resistensi bakteri (Mikhael dan Jasim, 2014).
Obat-obatan juga dapat dipengaruhi oleh makanan maupun minuman. Terdapat obat yang diminum setelah makan atau sebelum makan, maka dari itu obat yang diminum setelah makan dapat diminum 5-10 menit setelah makan sahur atau berbuka (makan malam). Sedangkan obat yang diminum sebelum makan dapat diminum 30 menit sebelum makan sahur atau berbuka (makan malam).
Berdasarkan informasi di atas, seorang apoteker sebagai ujung dari alur berobat pasien di pelayanan kesehatan, dapat menjelaskan obat-obatan yang dapat membatalkan puasa maupun tidak kepada pasien serta memberikan saran jadwal dan cara minum obat yang benar saat berpuasa. Tidak lupa untuk menekankan pasien jika tidak memungkinkan untuk melanjutkan puasanya sebaiknya segera minum obat agar tidak memperburuk kesehatan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Mikhael, EM dan Jasim AL. (2014). Antibiotic-prescribing patterns for Iraqi patients during Ramadan, Iraq: PMC US National Library of Medicine National Institutes of Health. doi: 10.2147/PPA.S73401
[2] Nurhayati. (2017). Farmakologi, Jakarta: PPSDMK Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Hal 46
[3] Ulama dan ahli medis Maroko. (1997). Seminar: “An Islamic view of certain contemporary medical issues”.
[4] Wahbah Al-Zuhayl. (1998). Puasa Dan I’tikaf, Kajian Berbagai Mazhab, Bandung: Remaja Rosda Karya. Hal. 84-65.
Posted by Humas BBKPM Bandung Posted on April 13, 2021